Fajar di Malam Hari




Hanya satu hal yang kuinginkan sekarang. Aku ingin Fajar diam dan berhenti bertanya. Aku ingin dia menutup mulutnya dan tidak membuatku tersiksa karena pertanyaan-pertanyaanya yang tak tahu harus kujawab dengan kata apa.
            “Apa ibu akan datang malam ini? Aku tidak suka tinggal bersama bibi. Aku ingin pulang, kapan ibu menjemput kita?” Dia terus bertanya, bertanya dan bertanya. Sebenarnya aku ingin berteriak atau membungkam mulutnya supaya dia diam, tapi aku tidak mau menanggung risiko dia mengubah rentetan pertanyaannya dengan tangisan tanpa henti lalu membuat Bibi Sofhie berlari masuk ke kamar kami dan memarahiku. Tidak!
            “Tidurlah Fajar. Ini sudah malam,” ujarku , berusaha sebisa mungkin untuk meredam emosi membuncah dalam diriku. Kuletakkan pena yang kugunakan untuk mengerjakan PR di atas meja dan sejenak mengalihkan perhatian kepada adik laki-lakiku yang
kini tengah memainkan bantal berbentuk strawberri kesayangannya di atas ranjang di samping meja belajarku.
            “Katakan dulu apakah ibu akan menjemput kita,” sekali lagi dia bertanya  bahkan menatapku penuh arti. Bola mata hitamnya memandangku penuh harap, menunggu kalimat jawaban dariku. Aku tahu dia berharap “Iya” dari bibirku, tapi apa yang bias kukatakan? Aku juga tidak bisa menerima kenyataan untuk berkata  “ibu tidak akan pernah menjemput kita,”
            “Kak apakah ibu,”
            “Fajar harus berapa kali kubilang tidur!’ akhirnya kesabaranku habis, aku setengah berteriak padanya dan sukses utuk membuatnya beringsut ke sudut ranjang. Kerja bagus Lail.
            Kuhembuskan napasku singkat ketika kudapati wajah Fajar mengerut, cuping hidungnya mengembang dan matanya mulai merah, ditariknya bantal di dekat kakinya dan melemparkannya ke wajahku dengan sukses.
            “Kakak jahat!” jeritnya, suaranya melengking dan membuat telingaku berdenging. Segera aku melompat dari kursi ke ranjang, kudekati Fajar yang mulai menangis.
            “Hei, ayolah jangan menangis,” kuraih tangannya tapi dia jusru memukulku dengan bantal strawberrinya.
            “Aku ingin bertemu ibu,” akhirnya kini tangisnya pecah, dan aku tidak mau semakin buruk dengan kehadiran bibi, maka segera kuraup wajah mungilnya dengan kedua telapak tanganku.
            “Aku akan membelikanmu permen sepulang sekolah besok kalau kau diam. Fajar kumohon jangan menangis. Bibi akan marah padaku kalau kau menangis.” Aku berbicara dengan menatap penuh matanya yang basah oleh air mata, entah caraku berhasil atau dia kasihan padaku karena tak mau melihatku dimarahi bibi lagi. Akhirnya dia mulai tenang setidaknya dia tidak menjerit histeris seperti biasanya.
            “Aku ingin bertemu ibu.” Dalam isakannya dia kembali menanyakan hal yang sama, “apa kakak tidak merindukan ibu?”  lanjutnya lagi, didekapnya bantal kesayangannya.
Pertanyaan macam apa yang ditanyakannya itu? Tentu saja aku merindukan ibu. Tapi apa yang harus kulakukan? Membongkar makamnya?
            “Aku juga merindukannya,”
            “Lalu kenapa kau tidak mau pulang?” dia mengelap ingusnya dengan punggung tangannya.
            “Ibu tidak ada di rumah, tidak ada siapa-siapa disana. Aku tidak bisa memasak, siapa yang akan menjagamu kalau aku sekolah?” kucoba menjelaskan alasan yang mungkin bisa dipahami Fajar kenapa aku dan dia tidak mungkin pulang ke rumah kami dan akan tetap tinggal bersama bibi Sofhie
            “Kenapa ibu matinya lama sekali?”
Mataku terbelalak mendengar pertanyaannya. Menyadarkanku kenapa sampai sekarang, di hari keenam sejak kepergiaan ibu, dia masih tak juga memahami maksudku. Fajar masih belum genap tiga tahun dan dia tidak tahu apa itu mati.

Hari itu sepulang sekolah kutemukan Fajar bermain-main di pinggir jalan dengan bantal strawberrinya yang sudah kotor penuh debu. Dia berlari memeluk kakiku, kebiasaannya yang benar-benar tidak kusukai. Kuangkat dia dan menggendongnya ke dalam rumah. Warung klontong masih buka dan tak kutemukan ibu yang biasanya duduk di depan tv sambil membungkus kacang bawang.
“Mana ibu?” tanyaku pada Fajar, menurunkan bocah yang semakin gemuk itu. Dia menggeleng lalu melompat ke sofa, tiduran disana, memainkan bantalnya.
“Jangan main keluar lagi Fajar, aku ganti baju dulu,” Kuperingatkan dia sebelum akhirnya aku melangkahkan kaki menuju kamarku, melepas sepatu dan tasku lalu meletakkannya asal. Sore telah jatuh tapi matahari masih bersinar terik, memicu gerah tak tertahan. Kusibak tirai jendela kamar,mendengus dan terbatuk ketika debu menghambur bersama udara masuk ke hidungku. Susah payah kubuka jendela tua yang memang selalu merepotkanku, decit engsel berkaratnya seolah mampu merusak gendang telingaku.
Bola mataku membulat seketika, bisa kurasakan darah mengalir panas di sekujur pembuluhku, panas menjalar tulang punggungku. Kekacauan diri merajai selama beberapa detik sampai akhirnya kudapatkan lagi kesadaran diri.
“Ibu!” seruku sebelum akhirnyy aku bergegas menuju pintu kamar. Berlari tunggang langgang menerobos dapur, melompat tangga kecil ke halaman belakang, tempat dimana ibuku terkapar disana, di tanah lembab di bawah jemuran. Tempat dimana semua diakhiri untuk awal baru yang tak kuketahui akan seperti apa.
Kugigit bibir bawahku, mengeratkan lenganku yang kugunakan untuk menggendong Fajar. Semua berlalu begitu cepat. Sesuatu yang tak pernah terpikir olehku akhirnya harus kualami. Ibu pergi untuk selamanya. Dokter berkata kepada Bibi Sofhie dan sampai juga di telingaku, dia berkata bahwa Ibu terkena serangan jantung. Kegilaan macam apa ini?  Ibu tidak punya penyakit jantung, satu-satunya penyakit yang diderita ibu dan menyebabkanku harus rela tidak mengikuti piknik dua minggu yang lalu  karena uang tabunganku digunakan untuk membeli obatnya adalah diabetes.
“Kakak  meninggal itu apa?”
Fajar menatap mataku lekat-lekat, pertanyaannya membuatku semakin merasa tidak baik. Ibu pergi, tersisa aku dan Fajar, apa yang harus kulakukan? Sesak mendera dadaku, panas seolah akan membakar diriku dari sana.
            “Apa yang ibu lakukan di dalam sana? Apa dia bisa makan disana?”
Untuk kesekian kali Fajar semakin membuatku tak mengerti. Apa yang harus kekatakan? Dia tidak tahu apa itu meninggal dan terus bertanya kepadaku. Air mata mulai mendesak di pelupuk mataku, tak bisa lagi kutahan semua ini. Di bawah tanah merah itu terkubur ibuku, ibu di dalam sana dan aku merasa bersalah karena aku membentaknya. Dua minggu yang lalu sempat terpikir “Apa ibu tidak memikirkan kebahagiaanku? Tabunganku dipakainya untuk membeli obat dan aku harus puas menikmati liburanku dengan membantu menjaga warung makan milik Bibi Sofhie. Kenapa dia tidak mati saja dan membiarkanku jadi anaknya bibi Sofhie?”
            “Kakak? Apa kita bisa mati dan ikut ibu?”
            “Mati saja kau!” bentakku seraya menurunkan Fajar dari gendonganku, membuat semua pelayat yang masih berada di pemakaman terkejut dan langsung mengarahkan pandangan kepadaku, “Kau tahu? Ibu tidak akan kembali! Dia tidak akan menemani kau tidur lagi, kau harus mandi dan makan sendiri, tidak ada yang menjagamu kalau aku sekolah. Jadi masuklah kalau kau ingin masuk. Ibu tidak akan kembali,”
            “Lail!” kulihat bibi Sofhie menghampiriku bersama suaminya, paman Ari yang berbadan besar, dia meraih  Fajar yang menangis karena takut sementara Paman Ari langsung meraih bahuku.
            “Kita tidak pernah punya ayah, dan ibu mati! Jadi kalau kau mau mati, mati saja!” seruku lagi, membuat tangis Fajar semakin menjadi. Aku sendiri juga semakin gila, aku tidak tahu kata-kata macam apalagi yang akan terlontar dari mulutku kalau Paman tak lekas meraihku ke dalam pelukannya.
            Bunga-bunga kamboja berguguran tertiup angin sore yang semilir berhembus. Jatuh ke tanah, bercampur dengan tanah dan menghilang. Ibuku seperti bunga itu, dia dimasukkan ke dalam tanah, dimakan cacing dan akan hilang. Lalu siapa yang akan menjadi ibuku? Menjadi ayahku? Dia ayah dan ibuku, dia berkata begitu kepadaku sejak ayah pergi entah kemana. Aku seperti kehilangan segalanya dalam satu waktu.

            “Kak, kenapa kakak diam?” Suara kecil Fajar membawaku kembali ke dunia nyata tempatku bernapas. Fajar duduk manis di depanku, lengannya berada dalam genggamanku dan aku tidak menyadari bagaiaman dia bisa tenang dalam waktu secepat ini padahal aku baru saja membentaknya.
            “Bisakah kita tidur Fajar?”
            “Aku mau ibu,” dia menunduk, mungkin takut aku akan marah karena dia kembali mengungkapkan keinginannya.
            “Aku juga rindu ibu Fajar,  harus berapa kali kukatakan? Tapi ini sudah malam, ada hantu diluar sana, mereka akan membawamu pergi dan tidak akan kembali” dan ide gila mulai kukatakan, aku tidak tahu seperti apa kelanjutannya kalau cerita hantu ini membuat Fajar tertarik.
            “Apa ibu akan menjadi hantu?”
Fajar mengangkat kepalanya lagi, kutemukan binar semangat dari sorot matanya dan aku tidak mengerti kenapa dia bisa berpikir seperti itu karena awalnya kukira dia akan meringkuk di pojokan karena takut pada hantu.
            “Dulu kau bilang orang yang mati akan menjadi hantu, apa ibu akan menjadi hantu? Ayo kita keluar dan mencari ibu!” dia berdiri, melompat-lompat di atas kasur dan membuatku pusing. Ya Allah, kenapa adikku selalu membuatku kesulitan?
            “Ibu tidak menjadi hantu, dia ibu yang baik dia akan ke surga hidup bersama Allah,”
            “Kalau begitu kapan ibu pulang?” Fajar kembali duduk di depanku seperti bocah menunggu pembagian makanan di masjid ketika kumandang adzan tanda berbuka datang.
            “Dia tidak akan pulang,” lirih aku berbicara, ini untuk kali pertama kukatakan kepada Fajar bahwa ibu yang sangat kami rindukan tidak akan pernah kembali. Kulihat sendiri perubahan wajah Fajar, binar di matanya menghilang. Aku sendiri merasakan betapa menyakitkannya kenyataan bahwa aku tidak memiliki ibu lagi. Ibuku meninggal dan dia tidak akan memasak untukku, tidak akan menyuruhku makan di malam hari, tidak akan membangunkanku setiap pagi, tidak akan marah. Faktanya, aku juga baru menyadari betapa cara ibu memarahiku adalah hal yang paling kurindukan darinya.
            “Aku ingin bertemu ibu kak,” Fajar kembali merengek, kudengar nada bicaranya bergetar dan itu pertanda bahwa dia akan menangis. Aku lelah mendengarnya menangis dan selalu bertanya kapan ibu akan pulang. Apa dia tidak bisa memahamiku sebentar saja? Dia membuatku terluka setiap kali dia menanyakannya dan aku tidak bisa melakukan apapun karena yang dia inginkan adalah bertemu ibu dan aku tidak tahu bahkan tidak pernah mendengar ada orang yang sudah dikubur kembali pulang dengan membawa oleh-oleh. Setiap kali Fajar menangis, aku selalu berusaha menenangkannya tapi aku tidak tahu cara bagaimana supaya aku sendiri bisa merasa tenang tanpa ibu di sisiku. Dia ayah dan ibuku. Aku masih lima belas tahun, apa yang bisa dilakukan anak laki-laki berumur lima belas tahun yang bahkan belum pernah berkencan dengan seorang gadis agar bisa menjadi ibu sekaligus ayah bagi adiknya yang belum genap berumur  tiga tahun? Aku ingin kau kembali ibu, kenapa kau tega meninggalkan kami, meninggalkanku bersama Fajar yang tak pernah bisa tenang tanpamu di dekatnya. Aku ingin kau memelukku disini. Aku rindu ketika kau mendongengkan cerita wayang kepada Fajar sebelum dia tidur. Aku  rindu kau ibu.
            “Apakah ibu tidak lelah mati? kenapa dia terus mati dan tidak bertemu kita? Kapan kita mati kak? Aku ingin mati saja dan bertemu ibu, bagaimana cara ibu mati?”
Rentetan pertanyaan Fajar semakin mendesakku, aku tidak tahan mendengarnya. Aku ingin dia memahamiku sebentar saja, tapi apa yang dia ketahui? Dia ingin mati? apa dia mau meninggalkanku? Aku tidak mau semakin sendiri, hidup dengan Bibi Sofhie adalah pilihan terburuk yang pernah kubayangkan. Panas mendesak mataku, kabut air mata menggenang di puluk mata membuat pandanganku mengabur.
            “Aku ingin ibu, aku ingin tidur bersama ibu,” tangis Fajar pecah. Tangis yang membuatku miris dan dadaku semakin sesak. Kuraih dia ke dalam pelukanku, kepalanya kubenamkan di dadaku supaya tangisnya meredam disana tapi yang terjadi justru sebaliknya. air mataku luluh juga, membasahi rambut tipis Fajar, terisak di pelukan adikku adalah hal yang tak pernah kupikirkan. Tapi kini apalagi yang bisa kulakukan jika aku tidak bisa memperbaiki diriku sendiri? Kami terisak di malam gelap.
            Ibu kenapa kau pergi? Aku memang bisa membuatkan susu untuk Fajar, menggandeng tangannya ketika kami berjalan-jalan, mengajarinya bernyanyi, bermain degannya, menyuapinya  bahkan aku bisa memandikannya dengan tenang.  Tapi, aku tidak mampu membuatnya tidur lelap di malam hari, aku tidak bisa membuatnya berhenti menangis di dalam pelukanku. Apa kau tidak melihat? Aku justru turut menangis bersamanya, menunggu kehadiranmu, menangisi kepergianmu. Aku tidak bisa menjadi dirimu bagi Fajar ibu, tidak bisa.
            Kuhapus air mataku, sebisa mungkin berusaha supaya bulir-bulir bening itu tak bermuara di pipiku lagi. Kubaringkan Fajar yang mulai mengantuk kemudian aku turut berbaring di sampingnya. Memandang langit-langit kamar yang putih bersih , kusilangkan kedua lenganku di bawah kepala. Menikmati suara jarum jam dinding yang menjadi satu-satunya pemecah keheningan malam.
            “Kakak,” Suara kecil Fajar kembali terdengar. Terserah dia mau berbicara apa, aku lelah, mungkin dia akan berhenti dan langsung tidur kalau sudah lelah juga. Dia berbicara di dekat telingaku, napasnya menggelitik kulit ariku. Sejenak kemudian kualihkan sedikit perhatianku  padanya, meliriknya dari sudut mata. Ternyata dia menengadah penuih arti padaku. Binar matanya yang begitu mirip dengan mata ibu itu, benar-benar meneduhkanku.
            “Jangan menangis. Ibu pasti akan menjemput kita, jangan menangis ya”

***

           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KMIP: Wadah Berorganisasi dan Menjalin Persaudaraan

Ulang Tahun, Tradisi Jahiliyah

Indahnya Ukhuwah Islamiyah